SUDAHKAH ANDA SHOLAT ???

Selasa, 04 Desember 2012

KISAH NASRUDIN


HARGA KEBENARAN
Seperti biasanya, Nasrudin memberikan pengajaran di mimbar. "Kebenaran," ujarnya "adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material." Seorang murid bertanya, "Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-kadang mahal pula ?" "Kalau engkau perhatikan," sahut Nasrudin, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."
YANG TERSULIT
Salah seorang murid Nasrudin di sekolah bertanya, "Manakah keberhasilan yang paling besar: orang yang bisa menundukkan sebuah kerajaan, orang yang bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah orang lain melakukan hal itu ?" "Nampaknya ada tugas yang lebih sulit daripada ketiganya," kata Nasruddin. "Apa itu?" "Mencoba mengajar engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya."
HARMONI BUAH-BUAHAN
Nasrudin bersantai di bawah pohon arbei di kebunnya. Dilihatnya seluruh kebun, terutama tanaman labu yang mulai berbuah besar-besar dan ranum. Seperti biasa, Nasrudin merenung. "Aku heran, apa sebabnya pohon arbei sebesar ini hanya bisa menghasilkan buah yang kecil. Padahal, labu yang merambat dan mudah patah saja bisa menghasilkan buah yang besar-besar." Angin kecil bertiup. Ranting arbei bergerak dan saling bergesekan. Sebiji buah arbei jatuh tepat di kepala Nasrudin yang sedang tidak bersorban. "Ah. Kurasa aku tahu sebabnya."
CARA MEMBACA BUKU
Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasrudin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya. Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. nasrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nasrudin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal. "Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!" "Aku tahu," jawab Nasrudin acuh, "Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."
PENYELUNDUP
Ada kabar angin bahwa Mullah Nasrudin berprofesi juga sebagai penyelundup. Maka setiap melewati batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tidak ada hal yang mencurigakan yang ditemukan. Untuk mengajar, Mullah Nasrudin memang sering harus melintasi batas wilayah. Suatu malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya. "Aku tahu, Mullah, engkau penyelundup. Tapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa menemukan barang selundupanmu. Sekarang, jawablah penasaranku: apa yang engkau selundupkan ?" "Jubah," kata Nasrudin, serius.
JANGAN TERLALU DALAM
Telah berulang kali Nasrudin mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu berulang sehingga Nasrudin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi -- kita tahu -- menyogok itu diharamkan. Maka Nasrudin memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri. Nasrudin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan tahi sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Nasrudin mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim. Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Nasrudin. Nasrudin kemudian bertanya, "Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan ?" Hakim tersenyum lebar. "Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya." Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. "Wah, enak benar mentega ini!" "Yah," jawab Nasrudin, "Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam." Dan berlalulah Nasrudin.
HIDANGAN UNTUK BAJU
Nasrudin menghadiri sebuah pesta pernikahan. Dilihatnya seorang sahabatnya sedang asyik makan. Namun, di samping makan sebanyak-banyaknya, ia sibuk pula mengisi kantong bajunya dengan makanan. Melihat kerakusan sahabatnya, Nasrudin mengambil teko berisi air. Diam-dian, diisinya kantong baju sahabatnya dengan air. Tentu saja sahabatnya itu terkejut, dan berteriak, "Hai Nasrudin, gilakah kau ? Masa kantongku kau tuangi air!" "Maaf, aku tidak bermaksud buruk, sahabat," jawab Nasrudin, "Karena tadi kulihat betapa banyak makanan ditelan oleh kantongmu, maka aku khawatir dia akan haus. Karena itu kuberi minum secukupnya."
HIDANGAN UNTUK BAJU (2)
Nasrudin menghadiri sebuah pesta. Tetapi karena hanya memakai pakaian yang tua dan jelek, tidak ada seorang pun yang menyambutnya. Dengan kecewa Nasrudin pulang kembali. Namun tak lama, Nasrudin kembali dengan memakai pakaian yang baru dan indah. Kali ini Tuang Rumah menyambutnya dengan ramah. Ia diberi tempat duduk dan memperoleh hidangan seperti tamu-tamu lainnya. Tetapi Nasrudin segera melepaskan baju itu di atas hidangan dan berseru, "Hei baju baru, makanlah! Makanlah sepuas-puasmu!" Untuk mana ia memberikan alasan "Ketika aku datang dengan baju yang tadi, tidak ada seorang pun yang memberi aku makan. Tapi waktu aku kembali dengan baju yang ini, aku mendapatkan tempat yang bagus dan makanan yang enak. Tentu saja ini hak bajuku. Bukan untukku."
MENJEMUR BAJU
Nasrudin sedang mengembara cukup jauh ketika ia sampai di sebuah kampung yang sangat kekurangan air. Menyambut Nasrudin, beberapa penduduk mengeluh, "Sudah enam bulan tidak turun hujan di tempat ini, ya Mullah. Tanaman-tanaman mati. Air persediaan kami tinggan beberapa kantong lagi. Tolonglah kami. Berdoalah meminta hujan." Nasrudin mau menolong mereka. Tetapi ia minta dulu seember air. Maka datanglah setiap kepala keluarga membawa air terakhir yang mereka miliki. Total terkumpul hanya setengah ember air. Nasrudin melepas pakaiannya yang kotor, dan dengan air itu, Nasrudin mulai mencucinya. Penduduk kampung terkejut, "Mullah ! Itu air terakhir kami, untuk minum anak-anak kami!" Di tengah kegaduhan, dengan tenang Nasrudin mengangkat bajunya, dan menjemurnya. Pada saat itu, terdengar guntur dahsyat, yang disusul hujan lebat. Penduduk lupa akan marahnya, dan mereka berteriak gembira. "Bajuku hanya satu ini," kata Nasrudin di tengah hujan dan teriakan penduduk, "Bila aku menjemurnya, pasti hujan turun deras!" [Catatan: Trik ini sering digunakan oleh kaum sufi -- menggunakan keterjepitan-keterjepitan untuk hal-hal yang berbeda.]
BAHASA BURUNG
Dalam pengembaraannya, Nasrudin singgah di ibukota. Di sana langsung timbul kabar burung bahwa Nasrudin telah menguasai bahasa burung-burung. Raja sendiri akhirnya mendengar kabar itu. Maka dipanggillah Nasrudin ke istana. Saat itu kebetulan ada seekor burung hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada Nasrudin, "Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!" "Ia mengatakan," kata Nasrudin, "Jika raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaannya akan segera runtuh seperti sarangnya."
KEKEALAN MASA
Ketika memiliki uang cukup banyak, Nasrudin membeli ikan di pasar dan membawanya ke rumah. Ketika istrinya melihat ikan yang banyak itu, ia berpikir, "Oh, sudah lama aku tidak mengundang teman-temanku makan di sini." Ketika malam itu Nasrudin pulang kembali, ia berharap ikannya sudah dimasakkan untuknya. Alangkah kecewanya ia melihat ikan-ikannya itu sudah habis, tinggal duri-durinya saja. "Siapa yang menghabiskan ikan sebanyak ini ?" Istrinya menjawab, "Kucingmu itu, tentu saja. Mengapa kau pelihara juga kucing yang nakal dan rakus itu!" Nasrudin pun makan malam dengan seadanya saja. Setelah makan, dipanggilnya kucingnya, dibawanya ke kedai terdekat, diangkatnya ke timbangan, dan ditimbangnya. Lalu ia pulang ke rumah, dan berkata cukup keras, "Ikanku tadi dua kilo beratnya. Yang barusan aku timbang ini juga dua kilo. Kalau kucingku dua kilo, mana ikannya ? Dan kalau ini ikan dua kilo, lalu mana kucingnya ?"
TERBURU-BURU
Keledai Nasrudin jatuh sakit. Maka ia meminjam seekor kuda kepada tetangganya. Kuda itu besar dan kuat serta kencang larinya. Begitu Nasrudin menaikinya, ia langsung melesat secepat kilat, sementara Nasrudin berpegangan di atasnya, ketakutan. Nasrudin mencoba membelokkan arah kuda. Tapi sia-sia. Kuda itu lari lebih kencang lagi. Beberapa teman Nasrudin sedang bekerja di ladang ketika melihat Nasrudin melaju kencang di atas kuda. Mengira sedang ada sesuatu yang penting, mereka berteriak, "Ada apa Nasrudin ? Ke mana engkau ? Mengapa terburu-buru ?" Nasrudin balas berteriak, "Saya tidak tahu ! Binatang ini tidak mengatakannya kepadaku !"
PRIUK BERANAK
Nasrudin meminjam periuk kepada tetangganya. Seminggu kemudian, ia mengembalikannya dengan menyertakan juga periuk kecil di sampingnya. Tetangganya heran dan bertanya mengenai periuk kecil itu. "Periukmu sedang hamil waktu kupinjam. Dua hari kemudian ia melahirkan bayinya dengan selamat." Tetangganya itu menerimanya dengan senang. Nasrudin pun pulang. Beberapa hari kemudian, Nasrudin meminjam kembali periuk itu. Namun kali ini ia pura-pura lupa mengembalikannya. Sang tetangga mulai gusar, dan ia pun datang ke rumah Nasrudin, Sambil terisak-isak, Nasrudin menyambut tamunya, "Oh, sungguh sebuah malapetaka. Takdir telah menentukan bahwa periukmu meninggal di rumahku. Dan sekarang telah kumakamkan." Sang tetangga menjadi marah, "Ayo kembalikan periukku. Jangan belagak bodoh. Mana ada periuk bisa meninggal dunia!" "Tapi periuk yang bisa beranak, tentu bisa pula meninggal dunia," kata Nasrudin, sambil menghentikan isaknya.
JATUHNYA JUBAH
Nasrudin pulang malam bersama teman-temannya. Di pintu rumah mereka berpisah. Di dalam rumah, istri Nasrudin sudah menanti dengan marah. "Aku telah bersusah payah memasak untukmu sore tadi !" katanya sambil menjewer Nasrudin. Karena kuatnya, Nasrudin terpelanting dan jatuh menabrak peti. Mendengar suara gaduh, teman-teman Nasrudin yang belum terlalu jauh kembali, dan bertanya dari balik pintu, "Ada apa Nasrudin, malam-malam begini ribut sekali?" "Jubahku jatuh dan menabrak peti," jawab Nasrudin. "Jubah jatuh saja ribut sekali ?" "Tentu saja," sesal Nasrudin, "Karena aku masih berada di dalamnya."
BERSEMBUNYI
Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasrudin. Kabetulan Nasrudin sedang melihatnya. Karena ia sedang sendirian aja, Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nasrudin yang bersembunyi. "Aha!" kata si pencuri, "Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha?" "Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini."
RELATIFITAS KEJU
Setelah bepergian jauh, Nasrudin tiba kembali di rumah. Istrinya menyambut dengan gembira, "Aku punya sepotong keju untukmu," kata istrinya. "Alhamdulillah," puji Nasrudin, "Aku suka keju. Keju itu baik untuk kesehatan perut." Tidak lama Nasrudin kembali pergi. Ketika ia kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga. "Adakah keju untukku ?" tanya Nasrudin. "Tidak ada lagi," kata istrinya. Kata Nasrudin, "Yah, tidak apa-apa. Lagipula keju itu tidak baik bagi kesehatan gigi." "Jadi mana yang benar ?" kata istri Nasrudin bertanya-tanya, "Keju itu baik untuk perut atau tidak baik untuk gigi ?" "Itu tergantung," sambut Nasrudin, "Tergantung apakah kejunya ada atau tidak."
KEADILAN & Kelaliman
Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk mengundangi para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang sama: "Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal." Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Nasrudin diundang. Ini adalah perjumpaan resmi Nasrudin yang pertama dengan Timur Lenk. Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh : "Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal." Dan dengan menenangkan diri, Nasrudin menjawab : "Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami." Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk mengakui kecerdikan jawaban itu. Maka untuk sementara para ulama terbebas dari kejahatan Timur Lenk lebih lanjut.
KELEDAI MEMBACA
Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata, "Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya." Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya. Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasrudin. "Demikianlah," kata Nasrudin, "Keledaiku sudah bisa membaca." Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?" Nasrudin berkisah, "Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar." "Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?" Nasrudin menjawab, "Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?"
“ TIMUR LENK DI DUNIA “
Timur Lenk masih meneruskan perbincangan dengan Nasrudin soal kekuasaannya. "Nasrudin! Kalau setiap benda yang ada di dunia ini ada harganya, berapakah hargaku ?" Kali ini Nasrudin menjawab sekenanya, tanpa banyak berpikir. "Saya taksir, sekitar 100 dinar saja" Timur Lenk membentak Nasrudin, "Keterlaluan! Apa kau tahu bahwa ikat pinggangku saja harganya sudah 100 dinar." "Tepat sekali," kata Nasrudin. "Memang yang saya nilai dari Anda hanya sebatas ikat pinggang itu saja."
“ NASRUDIN PEMUNGUT PAJAK “
Pada masa Timur Lenk, infrastruktur rusak, sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun. Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek-robek buku-buku itu satu per satu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar. Timur Lenk memerintahkan Nasrudin yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Nasrudin mencoba mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak memuaskan Timur Lenk. Maka Nasrudin pun dipanggil. Nasrudin datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat. "Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu, Nasrudin ?" bentak Timur Lenk. "Laporan keuangan saya catat pada roti ini, Paduka," jawab Nasrudin dengan gaya pejabat. "Kau berpura-pura gila lagi, Nasrudin ?" Timur Lenk lebih marah lagi. Nasrudin menjawab takzim, "Paduka, usiaku sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini."
“ TEORI KEBUTUHAN “
Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai, "Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..." Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan." Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?" Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan." Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?" Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?" Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan." Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."
“ PERUSUH RAKYAT “
Kebetulan Nasrudin sedang ke kota raja. Tampaknya ada kesibukan luar biasa di istana. Karena ingin tahu, Nasrudin mencoba mendekati pintu istana. Tapi pengawal bersikap sangat waspada dan tidak ramah. "Menjauhlah engkau, hai mullah!" teriak pengawal. [Nasrudin dikenali sebagai mullah karena pakaiannya] "Mengapa ?" tanya Nasrudin. "Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pergilah !" "Tapi mengapa rakyat harus menjauh ?" "Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah !" "Iya, aku pergi. Tapi pikirkan: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana ?" kata Nasrudin sambil beranjak dari tempatnya.
“ API “
Hari Jum`at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum`at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah, "Api ! Api ! Api !" Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya, "Dimana apinya, Mullah ?" Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya, "Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."
“ YANG BENAR-BENAR BANAR
Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin berkomentar: "Aku rasa engkau benar." Petugas majelis membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasrudin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar: "Aku rasa engkau benar." Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar: "Aku rasa engkau benar."
“ MIMPI RELIGIUS “
Nasrudin sedang dalam perjalanan dengan pastur dan yogi. Pada hari kesekian, bekal mereka tinggal sepotong kecil roti. Masing-masing merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru, akhirnya mereka bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh mimpi paling relijius. Tidurlah mereka. Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: "Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib. Itu adalah tanda yang istimewa sekali." Yogi menukas, "Itu memang istimewa. Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling damai." Nasrudin berkata, "Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda 'Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.' Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu juga."
“ BELAJAR KEBIJAKSANAAN “
Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nasrudin. Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan melihat perilakunya. Malam itu Nasrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nasrudin. Setelah api besar, Nasrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nasrudin menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sonya. "Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nasrudin. "Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu." Ah, konsistensi.
“ ORIENTASI PADA BAJU “
Nasrudin diundang berburu, tetapi hanya dipinjami kuda yang lamban. Tidak lama, hujan turun deras. Semua kuda dipacu kembali ke rumah. Nasrudin melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda mereka lebih cepat. "Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku," ujar Nasrudin ringan. Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin dipinjami kuda yang cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Nasrudin melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya. Sampai rumah, Nasrudin tetap kering. "Ini semua salahmu!" teriak tuan rumah, "Kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu!" "Masalahnya, kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju."
“ MENJUAL TANGGA “
Nasrudin mengambil tangganya dan menggunakannya untuk naik ke pohon tetangganya. Tetapi sang tetangga memergokinya. "Sedang apa kau, Nasrudin ?" Nasrudin berimprovisasi, "Aku ... punya sebuah tangga yang bagus, dan sedang aku jual." "Dasar bodoh. Pohon itu bukan tempat menjual tangga!" kata sang tetangga, marah. Nasrudin bergaya filosof. "Tangga, bisa dijual di mana saja."
“ JATUH KE KOLAM “
Nasrudin hampir terjatuh ke kolam. Tapi orang yang tidak terlalu dikenal berada di dekatnya, dan kemudian menolongnya pada saat yang tepat. Namun setelah itu, setiap kali bertemu Nasrudin orang itu selalu membicarakan peristiwa itu, dan membuat Nasrudin berterima kasih berulang-ulang. Suatu hari, untuk yang kesekian kalinya, orang itu menyinggung peristiwa itu lagi. Nasrudin mengajaknya ke lokasi, dan kali ini Nasrudin langsung melompat ke air. "Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu tidak menolongku. Sudah, pergi sana!"
“ PADA SEBUAH KAPAL “
Nasrudin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nasrudin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat. "Teman-teman!" teriak Nasrudin. "Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!"
“ PELAYAN RAJA “
Nasrudin menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur urusan di dalam istana. Suatu hari raja merasa lapar. Beberapa koki menyajikan hidangan yang enak sekali. "Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ?" tanya raja kepada Nasrudin. "Teramat baik, Tuanku." Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak: "Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!" "Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku." ujar Nasrudin. "Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik." "Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran."
“ SAMA RATA SAMA RATA “
Seorang filosof menyampaikan pendapat, "Segala sesuatu harus dibagi sama rata." "Aku tak yakin itu dapat dilaksanakan," kata seorang pendengar yang skeptik. "Tapi pernahkah engkau mencobanya ?" balas sang filosof. "Aku pernah," sahut Nasrudin, "Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka memperoleh apa pun yang mereka inginkan." "Bagus sekali," kata sang filosof, "Dan bagaimana hasilnya ?" "Hasilnya ? Seekor keledai yang baik dan seorang istri yang buruk."
“ MANIPULASI DESKRIPSI “
Nasrudin kehilangan sorban barunya yang bagus dan mahal. Tidak lama kemudian, Nasrudin tampak menyusun maklumat yang menawarkan setengah keping uang perak bagi yang menemukan dan mengembalikan sorbannya. Seseorang protes, "Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu." "Nah," kata Nasrudin, "Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek."
“ UMUR NASRUDIN “
"Berapa umurmu, Nasrudin ?" "Empat puluh tahun." "Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama." "Aku konsisten."
“ BAHASA KURDI “
Tetangga Nasrudin ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari Nasrudin. Sebetulnya Nasrudin juga belum bisa bahasa Kurdi selain beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun akhirnya bersedia. "Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash." "Bagaimana dengan sop dingin ?" "Hemm. Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin. Jadi engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa Kurdi." ( COPAS dari matahatikoe.blogspot.com )

1 komentar:

Anonim mengatakan...

nasrudin n timur leng

Islam dengan Al Qur’an sebagai kitab sucinya adalah agama yang sempurna*****mencakup segala aspek kehidupan yang mengatur manusia dari tarikan nafas pertama didunia hingga hembusan nafas terakhir hidup manusia ****** bahkan mencakup pengetahuan kehidupan setelah kematian. *****Sehingga tidak perlu diragukan lagi kebenaran Al Qur an dan Sunah Rosululloh sebagai pedoman hidup umat Islam.*****Dan janganlah kita berbuat dholim dengan menambah atau mengurangi ajaran Allah ini.*****Cukuplah bencana yang bertubi-tubi mendera negeri ini mengingatkan kita.